Suku Dayak
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Suku Dayak / Orang Dayak |
|
|
Jumlah populasi |
Kurang lebih 6,3 juta (2010)
|
Kawasan dengan populasi yang signifikan |
Indonesia (Sensus 2010) |
3.009.494 |
[1] |
Malaysia () |
2.881.509 |
[2] |
Brunei Darussalam |
30.000 |
[3] |
|
Bahasa |
Daya, Dayak Melayik, Dayak Barito, Dayak Borneo Utara, Dayak Banuaka, Indonesia, Inggris dan Melayu. |
Agama |
Kristen (Katolik dan Protestan), Islam, Kaharingan dan Buddha |
Kelompok etnik terdekat |
Banjar, Kutai, Sambas |
Dayak[4][5][6][7][8][9] atau
Daya (ejaan lama: Dajak atau Dyak
[10][11][12][13]) adalah nama yang oleh penduduk pesisir pulau Borneo diberi kepada penghuni pedalaman
[14] yang mendiami Pulau
Kalimantan (
Brunei,
Malaysia yang terdiri dari
Sabah dan
Sarawak, serta
Indonesia yang terdiri dari
Kalimantan Barat,
Kalimantan Timur,
Kalimantan Tengah, dan
Kalimantan Selatan). Ada 5 suku asli Kalimantan yaitu Melayu, Dayak, Banjar, Kutai, Tidung dan Paser
[15]
Menurut sensus BPS tahun 2010, suku bangsa yang terdapat di Kalimantan
Indonesia dikelompokan menjadi tiga yaitu suku Banjar, suku Dayak
Indonesia (268 suku bangsa) dan suku asal Kalimantan lainnya (non Dayak
dan non Banjar). Dahulu, budaya masyarakat Dayak adalah Budaya maritim
atau bahari. Hampir semua nama sebutan orang Dayak mempunyai arti
sebagai sesuatu yang berhubungan dengan "perhuluan" atau sungai,
terutama pada nama-nama rumpun dan nama kekeluargaannya.
Ada yang membagi orang Dayak dalam enam rumpun yakni
rumpun Klemantan alias Kalimantan,
rumpun Iban,
rumpun Apokayan yaitu Dayak Kayan, Kenyah dan Bahau,
rumpun Murut,
rumpun Ot Danum-Ngaju dan
rumpun Punan.
Namun secara ilmiah, para linguis melihat 5 kelompok bahasa yang
dituturkan di pulau Kalimantan dan masing-masing memiliki kerabat di
luar pulau Kalimantan:
[16]
- "Barito Raya (33 bahasa, termasuk 11 bahasa dari kelompok bahasa Madagaskar, dan Sama-Bajau),
- "Dayak Darat" (13 bahasa)
- "Borneo Utara" (99 bahasa), termasuk bahasa Yakan di Filipina.
- "Sulawesi Selatan" dituturkan 3 suku Dayak di pedalaman Kalbar: Dayak Taman, Dayak Embaloh, Dayak Kalis disebut rumpun Dayak Banuaka.
- "Melayik" dituturkan 3 suku Dayak: Dayak Meratus/Bukit (alias Banjar arkhais yang digolongkan bahasa Melayu),
Dayak Iban dan Dayak Kendayan (Kanayatn). Tidak termasuk Banjar, Berau,
Kedayan (Brunei), Senganan, Sambas yang dianggap berbudaya Melayu.
Sekarang beberapa suku berbudaya Melayu yang sekarang telah bergabung
dalam suku Dayak adalah Kutai, Tidung dan Bulungan (keduanya rumpun
Borneo Utara) serta Paser (rumpun Barito Raya).
Etimologi
Istilah "Dayak" paling umum digunakan untuk menyebut orang-orang asli non-Muslim, non-Melayu yang tinggal di pulau itu.
[17][18]
Ini terutama berlaku di Malaysia, karena di Indonesia ada suku-suku
Dayak yang Muslim namun tetap termasuk kategori Dayak walaupun beberapa
diantaranya disebut dengan Suku Banjar dan Suku Kutai. Terdapat beragam
penjelasan tentang etimologi istilah ini. Menurut Lindblad, kata Dayak
berasal dari kata
daya dari
bahasa Kenyah, yang berarti hulu
sungai atau pedalaman. King, lebih jauh menduga-duga bahwa Dayak mungkin juga berasal dari kata
aja,
sebuah kata dari bahasa Melayu yang berarti asli atau pribumi. Dia juga
yakin bahwa kata itu mungkin berasal dari sebuah istilah dari bahasa
Jawa Tengah yang berarti perilaku yang tak sesuai atau yang tak pada
tempatnya.
[19][20]
Istilah untuk suku penduduk asli dekat Sambas dan Pontianak adalah
Daya (Kanayatn: orang daya= orang darat), sedangkan di Banjarmasin
disebut Biaju (bi= dari; aju= hulu).
[21]
Jadi semula istilah orang Daya (orang darat) ditujukan untuk penduduk
asli Kalimantan Barat yakni rumpun Bidayuh yang selanjutnya dinamakan
Dayak Darat yang dibedakan dengan Dayak Laut (rumpun Iban). Di
Banjarmasin, istilah Dayak mulai digunakan dalam perjanjian Sultan
Banjar dengan Hindia Belanda tahun 1826, untuk menggantikan istilah
Biaju Besar (daerah
sungai Kahayan) dan Biaju Kecil (daerah sungai Kapuas Murung) yang masing-masing diganti menjadi Dayak Besar dan
Dayak Kecil.
Sejak itu istilah Dayak juga ditujukan untuk rumpun Ngaju-Ot Danum atau
rumpun Barito. Selanjutnya istilah “Dayak” dipakai meluas yang secara
kolektif merujuk kepada suku-suku penduduk asli setempat yang
berbeda-beda bahasanya
[22], khususnya non-Muslim atau non-Melayu.
[23]
Pada akhir abad ke-19 (pasca Perdamaian Tumbang Anoi) istilah Dayak
dipakai dalam konteks kependudukan penguasa kolonial yang mengambil alih
kedaulatan suku-suku yang tinggal di daerah-daerah pedalaman
Kalimantan.
[24]
Menurut Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Bagian Proyek Pengkajian
dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Kalimantan Timur, Dr. August Kaderland,
seorang ilmuwan
Belanda, adalah orang yang pertama kali mempergunakan istilah Dayak dalam pengertian di atas pada tahun
1895.
Arti dari kata ‘Dayak’ itu sendiri masih bisa diperdebatkan. Commans
(1987), misalnya, menulis bahwa menurut sebagian pengarang, ‘Dayak’
berarti manusia, sementara pengarang lainnya menyatakan bahwa kata itu
berarti pedalaman. Commans mengatakan bahwa arti yang paling tepat
adalah orang yang tinggal di hulu sungai.
[25] Dengan nama serupa, Lahajir
et al. melaporkan bahwa
orang-orang Iban menggunakan istilah Dayak dengan arti manusia, sementara orang-orang
Tunjung dan
Benuaq
mengartikannya sebagai hulu sungai. Mereka juga menyatakan bahwa
sebagian orang mengklaim bahwa istilah Dayak menunjuk pada karakteristik
personal tertentu yang diakui oleh orang-orang Kalimantan, yaitu kuat,
gagah, berani dan ulet.
[26] Lahajir
et al. mencatat bahwa setidaknya ada empat istilah untuk penuduk asli Kalimantan dalam literatur, yaitu
Daya',
Dyak,
Daya, dan
Dayak.
Penduduk asli itu sendiri pada umumnya tidak mengenal istilah-istilah
ini, akan tetapi orang-orang di luar lingkup merekalah yang menyebut
mereka sebagai ‘Dayak’.
[27]
Asal mula
Secara umum kebanyakan penduduk kepulauan Nusantara adalah penutur
bahasa Austronesia. Saat ini teori dominan adalah yang dikemukakan linguis seperti
Peter Bellwood dan
Blust, yaitu bahwa tempat asal bahasa Austronesia adalah
Taiwan. Sekitar 4 000 tahun lalu, sekelompok orang Austronesia mulai bermigrasi ke
Filipina.
Kira-kira 500 tahun kemudian, ada kelompok yang mulai bermigrasi ke
selatan menuju kepulauan Indonesia sekarang, dan ke timur menuju
Pasifik.
Namun orang Austronesia ini bukan penghuni pertama pulau Borneo.
Antara 60 000 dan 70 000 tahun lalu, waktu permukaan laut 120 atau 150
meter lebih rendah dari sekarang dan kepulauan Indonesia berupa daratan
(para
geolog
menyebut daratan ini "Sunda"), manusia sempat bermigrasi dari benua
Asia menuju ke selatan dan sempat mencapai benua Australia yang saat itu
tidak terlalu jauh dari daratan Asia.
Dari pegunungan itulah berasal sungai-sungai besar seluruh
Kalimantan. Diperkirakan, dalam rentang waktu yang lama, mereka harus
menyebar menelusuri sungai-sungai hingga ke hilir dan kemudian mendiami
pesisir pulau Kalimantan.
[28] Tetek Tahtum menceritakan migrasi suku Dayak Ngaju dari daerah perhuluan sungai-sungai menuju daerah hilir sungai-sungai.
Di daerah selatan Kalimantan Suku Dayak pernah membangun sebuah
kerajaan. Dalam tradisi lisan Dayak di daerah itu sering disebut
Nansarunai Usak Jawa[29][30], yakni kerajaan Nansarunai dari
Dayak Maanyan yang dihancurkan oleh Majapahit, yang diperkirakan terjadi antara tahun
1309-
1389.
[31]
Kejadian tersebut mengakibatkan suku Dayak Maanyan terdesak dan
terpencar, sebagian masuk daerah pedalaman ke wilayah suku Dayak
Lawangan. Arus besar berikutnya terjadi pada saat pengaruh Islam yang
berasal dari kerajaan Demak bersama masuknya para pedagang Melayu
(sekitar tahun
1520).
Sebagian besar suku Dayak di wilayah selatan dan timur kalimantan yang memeluk
Islam keluar dari suku Dayak dan tidak lagi mengakui dirinya sebagai orang Dayak, tapi menyebut dirinya sebagai atau
orang Banjar dan
Suku Kutai. Sedangkan orang Dayak yang menolak agama Islam kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman, bermukim di daerah-daerah
Kayu Tangi,
Amuntai,
Margasari, Watang Amandit,
Labuan Amas
dan Watang Balangan. Sebagian lagi terus terdesak masuk rimba. Orang
Dayak pemeluk Islam kebanyakan berada di Kalimantan Selatan dan sebagian
Kotawaringin, salah seorang pimpinan Banjar Hindu yang terkenal adalah
Lambung Mangkurat menurut orang Dayak adalah seorang Dayak (Ma’anyan atau Ot Danum).
[32] Di Kalimantan Timur, orang Suku Tonyoy-Benuaq yang memeluk Agama Islam menyebut dirinya sebagai
Suku Kutai.
[rujukan?] Tidak hanya dari Nusantara, bangsa-bangsa lain juga berdatangan ke Kalimantan. Bangsa
Tionghoa tercatat mulai datang ke Kalimantan pada masa Dinasti Ming yang tercatat dalam
Buku 323 Sejarah Dinasti Ming
(1368-1643). Dari manuskrip berhuruf hanzi disebutkan bahwa kota yang
pertama dikunjungi adalah Banjarmasin dan disebutkan bahwa seorang
Pangeran yang berdarah
Biaju menjadi pengganti Sultan Hidayatullah I . Kunjungan tersebut pada masa
Sultan Hidayatullah I dan penggantinya yaitu
Sultan Mustain Billah.
Hikayat Banjar memberitakan kunjungan tetapi tidak menetap oleh
pedagang jung bangsa Tionghoa dan Eropa (disebut Walanda) di Kalimantan
Selatan telah terjadi pada masa Kerajaan Banjar Hindu (abad XIV).
Pedagang
Tionghoa mulai menetap di kota Banjarmasin pada suatu tempat dekat pantai pada tahun 1736.
[33]
Kedatangan bangsa Tionghoa di selatan Kalimantan tidak mengakibatkan
perpindahan penduduk Dayak dan tidak memiliki pengaruh langsung karena
mereka hanya berdagang, terutama dengan kerajaan Banjar di Banjarmasin.
Mereka tidak langsung berniaga dengan orang Dayak. Peninggalan bangsa
Tionghoa masih disimpan oleh sebagian suku Dayak seperti piring malawen,
belanga (guci) dan peralatan keramik.
Sejak awal abad V bangsa Tionghoa telah sampai di Kalimantan. Pada abad XV
Kaisar Yongle mengirim sebuah angkatan perang besar ke selatan (termasuk Nusantara) di bawah pimpinan
Cheng Ho, dan kembali ke Tiongkok pada tahun
1407, setelah sebelumnya singgah ke
Jawa,
Kalimantan,
Malaka,
Manila dan
Solok. Pada tahun
1750,
Sultan Mempawah menerima orang-orang Tionghoa (dari Brunei) yang sedang
mencari emas. Orang-orang Tionghoa tersebut membawa juga barang
dagangan diantaranya candu, sutera, barang pecah belah seperti piring,
cangkir, mangkok dan guci.
[34]
Pembagian sub-sub etnis
Persebaran suku-suku Dayak di Pulau Kalimantan.
Dikarenakan arus migrasi yang kuat dari para pendatang, Suku Dayak
yang masih mempertahankan adat budayanya akhirnya memilih masuk ke
pedalaman. Akibatnya, Suku Dayak menjadi terpencar-pencar dan menjadi
sub-sub etnis tersendiri.
Kelompok Suku Dayak, terbagi dalam sub-sub suku yang kurang lebih
jumlahnya 405 sub (menurut J. U. Lontaan, 1975). Masing-masing sub suku
Dayak di pulau Kalimantan mempunyai adat istiadat dan budaya yang mirip,
merujuk kepada sosiologi kemasyarakatannya dan perbedaan adat istiadat,
budaya, maupun bahasa yang khas. Masa lalu masyarakat yang kini disebut
suku Dayak, mendiami daerah pesisir pantai dan sungai-sungai di
tiap-tiap pemukiman mereka.
Etnis Dayak Kalimantan menurut seorang antropologi J.U. Lontaan, 1975
dalam Bukunya Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat, terdiri
dari 6 suku besar dan 405 sub suku kecil, yang menyebar di seluruh
Kalimantan.
[35]
Dayak pada masa kini
Tradisi suku Dayak Kanayatn.
Dewasa ini suku bangsa Dayak terbagi dalam enam rumpun besar, yakni:
Apokayan (
Kenyah-Kayan-Bahau),
Ot Danum-Ngaju,
Iban,
Murut,
Klemantan dan
Punan. Rumpun
Dayak Punan
merupakan suku Dayak yang paling tua mendiami pulau Kalimantan,
sementara rumpun Dayak yang lain merupakan rumpun hasil asimilasi antara
Dayak punan dan kelompok Proto Melayu (moyang Dayak yang berasal dari
Yunnan). Keenam rumpun itu terbagi lagi dalam kurang lebih 405
sub-etnis. Meskipun terbagi dalam ratusan sub-etnis, semua etnis Dayak
memiliki kesamaan ciri-ciri budaya yang khas. Ciri-ciri tersebut menjadi
faktor penentu apakah suatu subsuku di Kalimantan dapat dimasukkan ke
dalam kelompok Dayak atau tidak. Ciri-ciri tersebut adalah rumah
panjang, hasil budaya material seperti tembikar,
mandau,
sumpit, beliong (kampak Dayak), pandangan terhadap alam, mata
pencaharian (sistem perladangan), dan seni tari. Perkampungan Dayak
rumpun
Ot Danum-Ngaju biasanya disebut
lewu/
lebu dan pada Dayak lain sering disebut
banua/
benua/binua/benuo.
Di kecamatan-kecamatan di Kalimantan yang merupakan wilayah adat Dayak
dipimpin seorang Kepala Adat yang memimpin satu atau dua suku Dayak yang
berbeda.
Prof. Lambut dari
Universitas Lambung Mangkurat,
(orang Dayak Ngaju) menolak anggapan Dayak berasal dari satu suku asal,
tetapi hanya sebutan kolektif dari berbagai unsur etnik, menurutnya
secara "
rasial", manusia Dayak dapat dikelompokkan menjadi :
Namun di dunia ilmiah internasional, istilah seperti "
ras Australoid", "
ras Mongoloid dan pada umumnya "ras" tidak lagi dianggap berarti untuk membuat
klasifikasi manusia karena kompleksnya faktor yang membuat adanya
kelompok manusia.
Tradisi Penguburan
Peti kubur di Kutai. Foto tersebut merupakan foto kuburan Dayak
Benuaq di Kutai. Peti yang dimaksud adalah
Selokng (ditempatkan di Garai). Ini merupakan penguburan primer - tempat mayat melalui Upacara/Ritual
Kenyauw. Sementara di sebelahnya (terlihat sepotong) merupakan
Tempelaq yang merupakan tempat tulang si meninggal melalui Upacara/Ritual
Kwangkay.
Tradisi penguburan dan upacara adat kematian pada suku bangsa Dayak
diatur tegas dalam hukum adat. Sistem penguburan beragam sejalan dengan
sejarah panjang kedatangan manusia di
Kalimantan. Dalam sejarahnya terdapat tiga budaya penguburan di Kalimantan :
- penguburan tanpa wadah dan tanpa bekal, dengan posisi kerangka dilipat.
- penguburan di dalam peti batu (dolmen)
- penguburan dengan wadah kayu, anyaman bambu, atau anyaman tikar. Ini merupakan sistem penguburan yang terakhir berkembang.
Menurut tradisi Dayak
Benuaq baik tempat maupun bentuk penguburan dibedakan :
- wadah (peti) mayat--> bukan peti mati : lungun[36], selokng dan kotak
- wadah tulang-beluang : tempelaaq[37] (bertiang 2) dan kererekng (bertiang 1) serta guci.
berdasarkan tempat peletakan wadah (kuburan)
[38][39] Suku
Dayak Benuaq :
- lubekng (tempat lungun)
- garai (tempat lungun, selokng)
- gur (lungun)
- tempelaaq dan kererekng
Pada umumnya terdapat dua tahapan penguburan:
- penguburan tahap pertama (primer)
- penguburan tahap kedua (sekunder).
Penguburan primer
- Parepm Api (Dayak Benuaq)
- Kenyauw (Dayak Benuaq)
Penguburan sekunder
Penguburan sekunder tidak lagi dilakukan di gua. Di hulu Sungai Bahau dan cabang-cabangnya di Kecamatan
Pujungan, Malinau,
Kalimantan Timur, banyak dijumpai kuburan tempayan-dolmen yang
merupakan peninggalan megalitik. Perkembangan terakhir, penguburan
dengan menggunakan peti mati (lungun) yang ditempatkan di atas tiang
atau dalam bangunan kecil dengan posisi ke arah matahari terbit.
Masyarakat Dayak Ngaju mengenal tiga cara penguburan, yakni :
- dikubur dalam tanah
- diletakkan di pohon besar
- dikremasi dalam upacara tiwah.
Prosesi penguburan sekunder
- Tiwah adalah prosesi penguburan sekunder pada penganut Kaharingan,
sebagai simbol pelepasan arwah menuju lewu tatau (alam kelanggengan)
yang dilaksanakan setahun atau beberapa tahun setelah penguburan pertama
di dalam tanah.
- Ijambe adalah prosesi penguburan sekunder pada Dayak Maanyan. Belulang dibakar menjadi abu dan ditempatkan dalam satu wadah.
- Marabia
- Mambatur (Dayak Maanyan)
- Kwangkai[40][41][42][43]/Wara (Dayak Benuaq)
Agama
Masyarakat rumpun Dayak Ngaju dan
rumpun Dayak Ot Danum menganut agama leluhur yang diberi nama oleh
Tjilik Riwut sebagai agama
Kaharingan
yang memiliki ciri khas adanya pembakaran tulang dalam ritual
penguburan. Sedangkan agama asli rumpun Dayak Banuaka tidak mengenal
adanya pembakaran tulang jenazah. Bahkan agama leluhur masyarakat Dayak
Meratus di Kalimantan Selatan lebih menekankan ritual dalam kehidupan
terutama upacara/ritual pertanian maupun pesta panen yang sering
dinamakan sebagai agama
Balian.
Agama-agama asli suku-suku Dayak sekarang ini kian lama kian
ditinggalkan. Sejak abad pertama Masehi, agama Hindu mulai memasuki
Kalimantan dengan ditemukannya
Candi Agung sebuah peninggalan agama Hindu di
Amuntai,
Kalimantan Selatan, selanjutnya berdirilah kerajaan-kerajaan
Hindu-Buddha. Semenjak abad ke-4 masyarakat Kalimantan memasuki era
sejarah yang ditandai dengan ditemukannya prasasti peninggalan dari
Kerajaan Kutai yang beragama Hindu di Kalimantan Timur.
[44] Penemuan arca-arca Buddha yang merupakan peninggalan Kerajaan Brunei kuno, Kerajaan Sribangun (di
Kota Bangun, Kutai Kartanegara)
[45] dan
Kerajaan Wijayapura. Hal ini menunjukkan munculnya pengaruh hukum agama Hindu-Buddha dan asimilasi dengan budaya
India yang menandai kemunculan masyarakat multietnis yang pertama kali di Kalimantan. Penemuan
Batu Nisan Sandai
menunjukan penyebaran agama Islam di Kalimantan sejak abad ke-7
mencapai puncaknya di awal abad ke-16, masyarakat kerajaan-kerajaan
Hindu menjadi pemeluk-pemeluk Islam yang menandai kepunahan agama Hindu
dan Buddha di Kalimantan. Sejak itu mulai muncul
hukum adat Melayu/Banjar yang dipengaruhi oleh sebagian
hukum agama Islam
(seperti budaya makanan, budaya berpakaian, budaya bersuci), namun
umumnya masyarakat Dayak di pedalaman tetap memegang teguh pada hukum
adat/kepercayaan Kaharingan. Sebagian besar masyarakat Dayak yang
sebelumnya beragama Kaharingan kini memilih
Kekristenan,
namun kurang dari 10% yang masih mempertahankan agama Kaharingan. Agama
Kaharingan sendiri telah digabungkan ke dalam kelompok agama Hindu
(baca: Hindu Bali) sehingga mendapat sebutan agama Hindu Kaharingan.
Namun ada pula sebagian kecil masyarakat Dayak kini mengkonversi
agamanya dari agama Kaharingan menjadi agama Buddha (Buddha versi
Tionghoa), yang pada mulanya muncul karena adanya perkawinan antarsuku
dengan etnis
Tionghoa yang beragama
Buddha, kemudian semakin meluas disebarkan oleh para
Biksu di kalangan masyarakat Dayak misalnya terdapat pada masyarakat Dayak yang tinggal di kecamatan
Halong di Kalimantan Selatan. Di Kalimantan Barat, agama Kristen
diklaim
sebagai agama orang Dayak (sehingga Dayak Muslim Kalbar terpaksa
membentuk Dewan Adat Dayak Muslim tersendiri), tetapi hal ini tidak
berlaku di propinsi lainnya sebab orang Dayak juga banyak yang memeluk
agama-agama selain Kristen misalnya ada orang Dayak yang sebelumnya
beragama Kaharingan kemudian masuk Islam namun tetap menyebut dirinya
sebagai suku Dayak. Agama sejati orang Dayak adalah Kaharingan. Di
wilayah perkampungan-perkampungan Dayak yang masih beragama Kaharingan
berlaku hukum adat Dayak, namun tidak semua daerah di Kalimantan tunduk
kepada hukum adat Dayak, kebanyakan kota-kota di pesisir Kalimantan dan
pusat-pusat kerajaan Islam, masyarakatnya tunduk kepada hukum adat
Melayu/Banjar seperti suku-suku Melayu-Senganan, Kedayan, Banjar,
Bakumpai, Kutai, Paser, Berau, Tidung, dan Bulungan. Bahkan di wilayah
perkampungan-perkampungan Dayak yang telah sangat lama berada dalam
pengaruh agama Kristen yang kuat kemungkinan tidak berlaku hukum adat
Dayak/Kaharingan. Di masa kolonial, orang-orang
bumiputera
Kristen dan orang Dayak Kristen di perkotaan disamakan kedudukannya
dengan orang Eropa dan tunduk kepada hukum golongan Eropa. Belakangan
penyebaran agama Nasrani mampu menjangkau daerah-daerah Dayak terletak
sangat jauh di pedalaman sehingga agama Nasrani dianut oleh hampir semua
penduduk pedalaman dan diklaim sebagai agama orang Dayak.
Jika kita melihat sejarah pulau Borneo dari awal. Orang-orang dari Sriwijaya, orang
Melayu yang mula-mula migrasi ke Kalimantan. Etnis Tionghoa
Hui Muslim
Hanafi menetap di Sambas sejak tahun 1407, karena pada masa
Dinasti Ming, bandar Sambas menjadi pelabuhan transit pada jalur perjalanan dari
Champa ke
Maynila, Kiu kieng (Palembang) maupun ke
Majapahit.
[46] Banyak penjabat Dinasti Ming adalah orang
Hui Muslim yang memiliki pengetahuan bahasa-bahasa asing misalnya
bahasa Arab.
[47]
Laporan pedagang-pedagang Tionghoa pada masa Dinasti Ming yang
mengunjungi Banjarmasin pada awal abad ke-16 mereka sangat khawatir
mengenai aksi pemotongan kepala yang dilakukan orang-orang Biaju di saat
para pedagang sedang tertidur di atas kapal. Agamawan Nasrani dan
penjelajah Eropa yang tidak menetap telah datang di Kalimantan pada abad
ke-14 dan semakin menonjol di awal abad ke-17 dengan kedatangan para
pedagang Eropa. Upaya-upaya penyebaran agama Nasrani selalu mengalami
kegagalan, karena pada dasarnya pada masa itu masyarakat Dayak memegang
teguh kepercayaan leluhur (Kaharingan) dan curiga kepada orang asing,
seringkali orang-orang asing terbunuh. Penduduk pesisir juga sangat
sensitif terhadap orang asing karena takut terhadap serangan bajak laut
dan kerajaan asing dari luar pulau yang hendak menjajah mereka.
Penghancuran keraton Banjar di Kuin tahun 1612 oleh VOC Belanda dan
serangan Mataram atas Sukadana tahun 1622 dan potensi serangan Makassar
sangat mempengaruhi kerajaan-kerajaan di Kalimantan. Sekitar tahun 1787,
Belanda memperoleh sebagian besar Kalimantan dari Kesultanan Banjar dan
Banten. Sekitar tahun 1835 barulah misionaris Kristen mulai
beraktifitas secara leluasa di wilayah-wilayah pemerintahan Hindia
Belanda yang berdekatan dengan negara Kesultanan Banjar. Pada tanggal
26 Juni 1835, Barnstein,
penginjil
pertama Kalimantan tiba di Banjarmasin dan mulai menyebarkan agama
Kristen. Pemerintah lokal Hindia Belanda malahan merintangi upaya-upaya
misionaris.
[48][49][50][51][52]
Konflik
Keterlibatan
Dayak (istilah kolektif untuk masyarakat asli Kalimantan) telah
mengalami peningkatan dalam konflik antar etnis. Di awal 1997 dan
kemudian pada tahun 1999, bentrokan-bentrokan brutal terjadi antara
orang-orang Dayak dan Madura di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah.
Puncak dari konflik ini terjadi di Sampit pada tahun 2001.
Konflik-konflik ini pun kemudian menjadi topik pembicaraan di
koran-koran di Indonesia. Sepanjang konflik tahun 1997, sejumlah besar
penduduk (baik Dayak maupun Madura) tewas. Muncul berbagai perkiraan
resmi tentang jumlah korban tewas, mulai dari 300 hingga 4.000 orang
menurut sumber-sumber independen.
[53] Pada tahun 1999, orang-orang Dayak, bersama dengan kelompok-kelompok
Melayu dan
Cina memerangi para pendatang
Madura; 114 orang tewas.
[54]
Menurut seorang tokoh masyarakat Dayak, konflik yang terjadi belakangan
itu pada awalnya bukan antara orang-orang Dayak dan Madura, melainkan
antara orang-orang Melayu dan Madura.
[55]
Kendati terdapat fakta bahwa hanya ada beberapa orang Dayak saja yang
terlibat, tetapi media massa membesar-besarkan keterlibatan Dayak.
Sebagian karena orang-orang Melayu yang terlibat menggunakan
simbol-simbol budaya Dayak saat kerusuhan terjadi.
Lihat pula
Referensi
- ^ Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama dan Bahasa Sehari-hari Penduduk Indonesia Hasil Sensus Penduduk 2010. Badan Pusat Statistik. 2011. ISBN 9789790644175. Diakses 27 Agustus 2012.
- ^ Taburan Penduduk dan Ciri-ciri Asas Demografi. Jabatan Perangkaan Malaysia. 2011. ISBN 9789839044548 . Diakses 27 Agustus 2012.
- ^ http://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/bx.html
- ^ Ethnicity and territory in the late colonial imagination
- ^ (Inggris) Sellato, Bernard (2002). Innermost Bornéo: studies in Dayak cultures. NUS Press. hlm. 19. ISBN 2914936028.ISBN 978-2-914936-02-6
- ^ (Inggris)Davis, Joseph Barnard (1867). Thesaurus craniorum: Catalogue of the skulls of the various races of man, in the collection of Joseph Barnard Davis. Printed for the subscribers.
- ^ (Inggris)Malayan miscellanies (1820). Malayan miscellanies. Malayan miscellanies.
- ^ (Inggris)MacKinnon, Kathy (1996). The ecology of Kalimantan. Oxford University Press. ISBN 9780945971733.ISBN 0-945971-73-7
- ^ (Inggris)East India Company (1821). The Asiatic journal and monthly miscellany 12. Wm. H. Allen & Co.
- ^ (Inggris) University of Calcutta (1869). Calcutta review. 48-49. University of Calcutta. hlm. 171.
- ^ (Inggris) (1865)The London review of politics, society, literature, art, & science 11. J.K. Sharpe. hlm. 121.
- ^ (Inggris) Wood, John George (1870). Uncivilized
races of men in all countries of the world: being a comprehensive
account of their manners and customs, and of their physical, social,
mental, moral and religious characteristics 2. J. B. Burr & co. hlm. 1110.
- ^ (Inggris) (1841)The London Saturday journal. hlm. 80.
- ^ ?
Kata "daya" serumpun dengan misalnya kata "raya" dalam nama "Toraya"
yang berarti "orang (di) atas, orang hulu". Berdasarkan bukti-bukti
arkeologis yang ditemukan di Gua Niah (Sarawak) dan Gua Babi (Kalimantan Selatan),
penghuni pertama Kalimantan memiliki ciri-ciri Austro-Melanesia, dengan
proporsi tulang kerangka yang lebih besar dibandingkan dengan penghuni
Kalimantan masa kini
- ^ (Indonesia) Haris, Syamsuddin (2004). Desentralisasi dan otonomi daerah: Naskah akademik dan RUU usulan LIPI. Yayasan Obor Indonesia. hlm. 188. ISBN 979-98014-1-9.ISBN 978-979-98014-1-8
- ^ Indonesia, Kalimantan
- ^ King, 1993:29
- ^ (Inggris) Leeming, David Adams (2010). Creation myths of the world: an encyclopedia 1 (ed. 2). ABC-CLIO. hlm. 99. ISBN 1598841742.ISBN 978-1-59884-174-9
- ^ King, 1993:30
- ^ (Indonesia) Maunati, Yekti. Identitas Dayak. PT LKiS Pelangi Aksara. hlm. 8. ISBN 979949298X.ISBN 978-979-9492-98-2
- ^ (Inggris) Tegg, Thomas (1829). London
encyclopaedia; or, Universal dictionary of science, art, literature and
practical mechanics: comprising a popular view of the present state of
knowledge 4. Printed for Thomas Tegg. hlm. 338.
- ^ (Inggris) (1838)Foreign missionary chronicle. s.n. hlm. 261.
- ^ King, 1993.
- ^ Rousseau, 1990
- ^ Commans, 1987: 6
- ^ Lahajir et al., 1993:4
- ^ Lahajir et al., 1993:3
- ^ Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977-1978
- ^ Templat:Mhy icon NANSARUNAI USAK JAWA
- ^ (Indonesia) Usak Jawa
- ^ Fridolin Ukur, 1971
- ^ (Indonesia) Susanto, A. Budi (2007). Masihkah Indonesia. Kanisius. hlm. 216. ISBN 9792116575.ISBN 978-979-21-1657-1
- ^ http://eprints.lib.ui.ac.id/12976/1/82338-T6811-Politik%20dan-TOC.pdf
- ^ Sarwoto Kertodipoero, 1963
- ^ Hukum Adat dan Istiadat Kalimantan Barat, J.U. Lontaan. 1975
- ^ http://perpustakaan.kaltimprov.go.id/deposit-13-lungun-dan-upacara-adat-kematian-suku-dayak-benuaq.html
- ^ http://berita.liputan6.com/read/42277/tempelaaq_tempat_tulang_belulang_leluhur_suku_dayak
- ^ http://reverendum.blogspot.com/2011/06/6-kuburan-paling-aneh-di-indonesia.html
- ^ http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1985/06/15/KRI/mbm.19850615.KRI39073.id.html
- ^ Lathief.
H., Upacara adat kwangkay Dayak Benuaq Ohong di Mancong. Proyek
Pengembangan Media Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996 - Social Science - 220 pages
- ^ http://catalogue.nla.gov.au/Record/1156006
- ^ www.youtube.com/watch?v=kThegt6b3CE
- ^ http://budimasnet.blogspot.com/2011/03/adat-kematian.html
- ^ Kawi and Pallawa inscriptions, 4th-12th centuries
- ^ Kerajaan Sri Bangun Kerajaan Bercorak Budha
- ^ (Indonesia) Muljana, Slamet (2005). Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya negara-negara Islam di Nusantara. PT LKiS Pelangi Aksara. hlm. 61. ISBN 9798451163.ISBN 978-979-8451-16-4
- ^ (Indonesia) Kong, Yuanzhi (2000). In Hembing Wijayakusuma. Muslim Tionghoa Cheng Ho: misteri perjalanan muhibah di Nusantara. Yayasan Obor Indonesia. hlm. 54. ISBN 9794613614.ISBN 978-979-461-361-0
- ^ (Indonesia) Ukur, Fridolin (2000). Tuaiannya sungguh banyak: sejarah Gereja Kalimantan Evanggelis sejak tahun 1835. BPK Gunung Mulia. hlm. 42. ISBN 9789799290588. ISBN 979-9290-58-9
- ^ (Inggris) Evangelical (1836). Evangelical magazine and missionary chronicle, 14. s.n. hlm. 578.
- ^ (Indonesia) End, Th. van den (1987). Ragi Carita 1, Jilid 1 dari Ragi carita: sejarah gereja di Indonesia. BPK Gunung Mulia. ISBN 979-415-188-2.ISBN 978-979-415-188-4
- ^ (Inggris) (1837)Foreign missionary chronicle 5. Board of Foreign Missions and of the Board of Missions of the Presbyterian Church. hlm. 87.
- ^ (Belanda) Steenbrink, Karel A. (2003). Catholics in Indonesia, 1808-1942: A modest recovery 1808-1903. KITLV Press. hlm. 149. ISBN 9067181412.ISBN 978-90-6718-141-9
- ^ MacDougall, 1999
- ^ Mac Dougall, 1999
- ^ lihat, misalnya Manuntung, 22 Maret 1999
http://jadiberita.com/2011/02/04/ternyata-suku-dayak-bukan-cuma-satu-jenis/
Referensi
- Cfr. Tom Harrisson, "The Prehistory of Borneo", dalam Pieter van de
Velde (ed.), Prehistoric Indonesia a Reader (Dordrecht-Holland: Foris
Publications, 1984), hlm. 299-322
- Bellwood, Peter, “The Prehistory of Borneo”, Borneo Research Bulletin, 24/9 (1992), hlm. 7-13
- Kathy MacKinnon, The Ecology of Indonesian Series Volume III: The
Ecology of Kalimantan, (Singapore: Periplus Editions Ltd., 1996), hlm.
255-363
- bdk. P.J. Veth, "The Origin of the Name Dayak", dalam Borneo Research Bulletin, 15/2 (September 1983), hlm. 118-121
- Fridolin Ukur, "Kebudayaan Dayak", dalam Kalimantan Review, 22/I (Juli-Desember 1992), hlm. 3-10
- Keragaman Suku Dayak di Kalimantan, Institut Dayakologi, Pontianak
- Edi Petebang, Dayak Sakti, Institut Dayakologi
- Edi Petebang, Eri Sutrisno, Konflik Etnis di Sambas, ISAI, Jakarta
Pranala luar